CINCIN
Minggu ini saya memberkati perkawinan. Dan setelah pasangan saling berjanji untuk saling mengasihi dalam untung dan malam, waktu sehat dan sakit seumur hidup, mereka saling mengenakan cincin. “Terimalah cincin ini sebagai lambang cintaku kepadamu”, demikian yang mereka ucapkan. Tiba-tiba saya tergerak untuk merenungkan tentang cincin yang juga saya kenakan.
Cincin itu adalah simbol. Di balik cincin itu ada ikatan. Waktu orang pertama kali jatuh cinta, dia akan berjuang untuk mendapatkan cintanya. Mereka bertemu dan mengharapkan yang indah-indah. Maka ketika tidak mendapatkan mereka menjadi frustasi.
Namun tidak demikian ketika mereka sudah mengenakan cincin. Ketika mereka sudah mengenakan wedding ring maka akan dilanjuti dengan sufferring. Cincin penderitaan. Karena mereka akan saling berkorban. Jadi kepemilikan akan dilanjutkan dengan pengorbanan. Mereka akan berkorban dalam membina hubungan. Masing-masing pribadi akan melepaskan diri (let go) dan membiarkan Tuhan yang membimbing mereka (let God).
Ini juga kena mengena dengan saya, sebagai imam. Saya merasa terpanggil untuk mempersembahkan diri kepada Tuhan. Tidak mudah jalannya: mulai dari SMA Seminari. Kemudian pendidikan rohani di Novisiat, dilanjutkan studi Filsafat dan Theologi. 15 Juli 1986 saya meninggalkan rumah dan masuk asrama Seminari Mertoyudan. Tahun 2000 ditahbiskan imam. Waktu itu tanganku diurapi dengan minyak, untuk bisa memberi berkat. Setelah ditahbiskan saya ada di ring (lingkaran) para klerus. Tetapi apakah berarti perjuanganku sudah berakhir? Ternyata baru dimulai. Mempersembahkan korban Ekaristi di meja altar juga mengajak saya juga untuk berkorban dalam hidup sehari-hari.
Sang Jago cerita, Yesus, bercerita juga tentang seseorang yang menemukan harta terpendam atau mutiara yang indah (Mat 13: 44-46). Setelah ditemukan dia menjual segala sesuatu untuk mendapatkannya. Demi harta sejati itu, Yesus mengajak kita untuk berjuang sekuat tenaga dan dengan keteguhan hati.
Para saudara, apa yang menjadi harta sejatimu? Iman? Hidup perkawinan? Hidup mengikuti panggilan Tuhan? Tenukan harta sejatimu. Kalau sudah menemukan harta sejati itu, kita tinggal mempertaruhkan hidup kita untuk mendapatkan harta sejati. Karena dari harta sejati itu memberikan jaminan kehidupan kekal.
Beranikah kita? Berani.
Konsisten-kah kita? Nanti dulu. Bertekat itu membutuhkan keberanian, tetapi menjadi konsisten itu lebih sulit karena membutuhkan kesetiaan. Perjuangan kita jatuh dan bangun. Mari kita tetap komit, jika terjatuh, mari bangun lagi.
Kalau anda memakai ring (cincin), coba lepas, bersihkan, pandangi dan rasakan apa maknanya bagimu.
Saudaramu dalam Tuhan,
Fr. Petrus Suroto MSC