APAKAH TUHAN MEMBENCI ORANG KAYA?
Apakah Tuhan membenci orang kaya dan mencintai orang miskin? Apakah orang kaya dalam perumpamaan Yesus tentang Lazarus (Lk. 16:19-21) jatuh ke neraka hanya karena dia sangat kaya? Dan sebaliknya, apakah Lazarus beristirahat di dalam pangkuan Abraham semata-mata hanya karena dia miskin? Rasanya jawabannya tidak sesederhana itu. Memang benar bahwa sebagian besar dari Santo-santa katolik hidup melarat secara radikal. Namun di dalam Kitab Suci kekayaan juga sering dipakai sebagai tanda kasih Tuhan.
Rupanya dalam perumpamaan ini Yesus tidak segera memberi jawaban, tetapi mengundang kita untuk berefleksi. Tuntunan refleksinya bisa berbunyi, “kwalitas apa yang tidak ada di dalam pribadi orang kaya, dalam kisah Lukas 16:19-21 itu.” Pertanyaan ini sungguh mengundang refleksi. Setidaknya ada tiga kwalitas yang tidak hidup di dalam diri orang kaya itu. Baiklah kita memakai tiga kata teknis Stewardship, Simplicity dan Sharing. Supaya mudah diingat singkatannya: S S S.
Stewardship berarti sikap menerima kebenaran bahwa Tuhanlah Sang Pencipta dan Pemilik Segala Sesuatu. Apa saja yang ada pada kita tidak sepenuhnya milik kita melainkan milik Tuhan. Hidup kita, bakat-bakat yang kita miliki dipercayakan Tuhan kepada kita bukan untuk dipakai semaunya, melainkan di arahkan kepada maksud Tuhan, yang bisa dibahasakan sebagai prinsip dasar yaitu: CINTA + KEADILAN = DAMAI. Di hadapan Tuhan, kita hanyalah sekedar pengelola dari ciptaan Tuhan yang dipercayakan kepada kita. Kita juga menjadi pengelola misteri cinta kasih Tuhan; dan kita dituntut untuk menjadi pengelola yang bisa dipercaya (Bdk. 1 Cor 4:1-12).
Stewardship akan membawa kita kepada simplicity, yang berarti hidup bersahaja. Kalau kita menyadari bahwa dihadapan Tuhan kita hanyalah sekedar pengelola dari misteri kasih Tuhan, hidup kita akan menjadi bersahaja karena lebih berfokus kepada Tuhan dan sesama daripada melulu memikirkan kepentingan diri sendiri.
Simplicity juga membuat kita lepas godaan budaya materialisme global yang memperdaya manusia dengan tawaran tanpa kunjung akhir lewat jaringan iklan-iklan dan pusat-pusat perbelanjaan. Untuk bisa hidup bersahaja, dibutuhkan pertimbangan akal budi. Makanan, pakaian, perumahan, alat-alat kerja, konsumsi listrik dan bahan bakar harus menjadi objek dari pertimbangan yang kritis. Makanan yang berkwalitas bukanlah makanan yang lezat berlemak, pakaian yang baik tidak selalu yang paling mahal, rumah yang baik dan sehat bukanlah rumah yang membuat iri tetangga. Menjadi kreatif tidak senantiasa bersentuhan dengan material-fisik, tetapi sering harus menyentuh ranah rohani.
Simplicity akan lebih membawa kepada sharing. Semakin simple hidup kita, semakin banyak yang bisa disharingkan kepada orang lain. Hidup simple membawa kita kepada sharing yang adalah jantung spiritualitas kristiani: hidup yang diberikan.
Orang kaya dalam perumpamaan Yesus masuk jurang kematian bukan karena dia kaya tetapi karena tiadanya kwalitas stewardship, simplicity dan sharing. Jalan menuju ke surga ternyata jalan dengan memberi diri, bela rasa dengan sesama, berbagi berkat yang kita terima. Hidup yang mendasarkan diri kepada kwalitas Stewardship, Simplicity dan Sharing akan membuat dunia kita semakin sejuk dan penuh kasih.
(Inspirasi dari Fr. Ruben Tanseco, SJ)
Saudaramu dalam Tuhan,
Pst. Petrus Suroto MSC